Saturday, August 24, 2013


Kucing ini tadinya ingin kuberi nama Jinggo.

Karena Bapak Kucing menemukannya sedang berlari-lari kecil (joging) di sebuah jalan perkampungan.

Tidak ada rumah hanya jalan setapak.

"Tadinya dia susah sekali ditangkap.", kata Bapak Kucing.

"Sekali, dua kali, tiga kali. Akhirnya aku bilang begini, sekali lagi ya Cing, kalau kamu gak mau ikut ya sudah. Eh dia berhenti, lalu aku bawa pulang Mak.", lanjutnya.

"Terus kenapa dibawa pulang?", tanyaku.

"Sepertinya dia mencari rumah.", jawab Bapak.

Aku tersenyum.

Dia mengeong protes ketika dikandangkan.

Dry food tidak disentuh dan dia hanya makan sedikit wet food.

Dari tampilannya sudah jelas, dia scabies lumayan parah.

Vet yang kuhubungi belum bisa datang.

Akhirnya aku coba saja melakukan yang aku bisa.

Aku mandikan dan aku hangatkan.

Selama 3 hari di rumah lumayan terlihat kan perkembangannya?

Hari kedua, dia makan wet food banyak sekali.

Hampir satu sachet dia habiskan.

Sore harinya aku lihat dia seperti ingin muntah.

"Wah isinya cacing nih". pikirku.

Begitu dia muntah, aku cepat-cepat ingin membersihkannya.

Dan yang keluar dengan wet food bukan cacing, tapi plastik kresek!

Sekitar 10cm.

Aku kaget.

"Gak papa ya nak, penyakitnya udah keluar tuh.", kataku.

Aku coba memberi makan dan dia tampak tidak nafsu.

Besoknya kondisi Jinggo menurun.

Tidak mau makan dan lemas seharian.

Besoknya, dia pergi.

Selama-lamanya.

Aku sempat berfikir apa aku salah perawatan?

Aku tanya ke yang lebih mengerti kucing dan vet ku jawabannya mungkin penyebabnya lain.

Mungkin karena scabiesnya atau masih ada plastik yang tertinggal di perutnya.

Tapi tetap saja.

Aku gagal. Itu intinya.

Mau sampai kapan kucing-kucing ini jadi korban?

Mau menunggu sampai berapa banyak lagi?

Pelajaran yang bisa diambil dari sini, bukan hanya kaleng sarden atau wet food saja yang berbahaya. Plastik kresek juga! Seandainya anda membeli entah itu ikan, ayam, atau yang berbau amis lainnya cucilah dahulu plastiknya sebelum dibuang. Pastikan baunya benar-benar hilang. Ini sangat membantu kucing dan anjing di luar sana agar tidak salah makan!

Dan yang kedua adalah STERIL!
Ini tidak bisa ditawar lagi!
Monggo silahkan bagi anda yang mau mengembang biakkan kucingnya tapi rawatlah mereka dengan penuh tanggung jawab!
Lihat kemampuan diri, baik dari segi kesehatan, keuangan, dan lingkungan sekitar.


Kasus seperti ini sudah sangat banyak!
Ini beberapa contoh lainnya:
https://www.facebook.com/media/set/?set=a.10201843821724399.1073741829.1448480773&type=1

Sudah saatnya dihentikan.
Dan anda bisa memulainya dari diri sendiri dan lingkungan terdekat terlebih dahulu.

Lakukan apa yang anda bisa, mulai sekarang.

Wednesday, August 14, 2013

Mengapa Harga Barang di Supermarket Besar Lebih Murah Daripada di Warung Kecil?

Saat kita membeli kebutuhan pokok di warung kecil dekat rumah, sering kita jumpai harga yang ditawarkan oleh pedagang lebih mahal dibanding jika kita berbelanja di supermarket besar atau toko swalayan modern yang sudah menjamur itu.  Entah itu sabun, pasta gigi, mie instan,ataupun minyak goreng selisih harganya kadang cukup lumayan.  Terlebih lagi jika toko swalayan modern atau supermarket itu sedang promo, maka harga yang ditawarkan bisa lebih rendah dibanding harga grosir.

Apalagi mendekati hari lebaran seperti ini, brosur-brosur sengaja dibuat semenarik mungkin, dicetak, dan dibagikan-bagikan dengan dengan label “paling murah”, “termurah”, “diskon besar”, harga gila”, dan lain sebagainya. Dan memang benar, kalau kita cek harga kadang harga yang ditawarkanlebih rendah dari harga grosir besar sekalipun.

Kok bisa begitu ya?

Yang pertama, jangan buru-buru menghakimi warung kecil atau toko lain mengambil untung yang banyak.  Percayalah, zaman sekarang sudah tidak bisa lagi mengharap laba besar. Faktanya warung dan toko hanya mendapat laba puluhan sampai ratusan PERAK saja dari tiap barang yang dijual. Dan semua orang yang berdagang, baik skala kecil maupun besar,  pasti menginginkan keuntungan.  Tidak ada yang gratis saudara-saudara!

Kedua, ada informasi yang tidak diketahui oleh banyak orang, terutama pembeli.  Dan saya akan membaginya untuk anda.  Toko swalayan atau supermarket besar bekerjasama dengan pemasok barang, dan biasanya mereka dipasok oleh tangan pertama yaitu pabriknya.  Hal ini menjadikan harga jual mereka lebih  murah.  Bandingkan dengan toko atau warung kecil yang berbelanja/kulakan di toko grosir atau lewat sales. Sales pun ada yang resmi dan ada yang mandiri atau perorangan. 

Apa cuma itu?

Tidak.

Pabrik menetapkan target kepada para pekerjanya yaitu sales, dan ke supermarket yang dipasoknya.  Kalau untuk sales jelaslah ya, berupa kepastian dia sebagai karyawan tetap, jenjang karir, gaji, insentif dan lain sebagainya. 
Kalau untuk supermarket bagaimana? Begini, jika supermarket yang dipasok pabrik sanggup menjual sekian juta dus maka pabrik akan memberi bonus berupa uang tunai sekian milyar.  

Fantastis ya? 
Itulah sebabnya supermarket besar bisa perang-perangan harga demi mencapai target.  Mereka jual rugi-pun istilahnya, tidak apa-apa. Karena yang mereka kejar bukan laba dari pembeli tapi bonus dari pabrik.  Paham?

Apa cara ini curang?  

Saya bisa bilang tidak. 

Bagaimanapun pemeliharan sebuah supermarket tentu harus dengan dana yang sangat besar.  Kita bisa saja terkagum-kagum mendengar bonus mereka sekian milyar tapi jangan lupa mereka punya ratusan ribu pegawai yang harus digaji dan diberi THR. Belum lagi tagihan listriknya, biaya operasional lainnya, paling yang tersisa dari sekian milyar tinggal berapa. Menurut mereka hahhaha...
Kalau bagi saya mah tetap saja fantastis.

Apa ini hanya berlaku di supermarket saja?

Tidak.

Semua barang yang dijual dan didistribusikan menggunakan cara ini.

Ada kesepakatan antara pabrik, pabrik apapun, dengan para pemilik modal besar atau bandar.

Bahkan mesin cuci sampai pulsa pun demikian.

Pabrik berfungsi memproduks ibarang, beriklan, menetapkan target dan memberi bonus.

Bandar besar atau pemilik modal berupaya bagaimana caranya agar target tercapai dan dia bisa memperoleh laba.

Lantas siapa yang dirugikan?

Pembeli?

Oh tidak.  Pembeli adalah raja.  Dia berhak belanja dimana saja dia suka.

Lantas apakah tulisan ini berupa ajakan untuk tidak berbelanja di supermarket atau swalayan modern?

Tidak. Sama sekali tidak.  Sekali lagi pembeli adalah raja, terserah saja dia mau belanja dimana.

Menurut saya memang tidak ada yang dirugikan, tapi jika anda bertanya siapa yang direpotkan,jawabannya ada beberapa.

Pertama sales-sales kecil.  Para bawahan.  Mereka harus pintar-pintar merayu, mengiming-imingi gelas atau kaos agar pemilik warung bersedia memesan barang darinya.  Dan bahkan mereka tidak segan-segan “berkampanye hitam” tentang produk pesaing.    

Selain bersaing dengan sales dari produk lain mereka juga harus bersaing dengan sales dari satu perusahaan tempatnya bekerja.  Jika target yang dicapai dibawah pencapaian teman-teman sekerjanya bakal dia akan terancam dieliminasi atau dipecat.

Mereka juga harus susah payah menawarkan produk pabrik tempatnya bekerja ke toko-toko dan warung.  Selisih 50 rupiah saja warung bisa membatalkan orderannya.  Apalagi jika supermarket sedang menawarkan harga yang sangat murah, maka toko atau warung kecil lebih memilih berbelanja barang di supermarket untuk dijual kembali.

Kalau mengingat tekanan yang mereka dapatkan dari perusahaan tempatnya bekerja kadang sikap mereka yang sedikit memaksa untuk membeli barang bisa sedikit dimaafkan meskipun tetap terasa menjengkelkan.
Rumit sekali sebenarnya.

Kedua, toko dan warung-warung kecil.
Mereka ini adalah pemilik modal yang terbatas.  Berbelanja hanya seperlunya, hanya barang-barang yang cepat laku saja, mengumpulkan rupiah demi rupiah, dan masih diprotes oleh pembeli.

Dan celotehan pembeli yang sering terdengar adalah, “Kok harganya sekian Pak? Di JrengjrengMart cuma sekian.”

“Kok harganya segini? Di tivi segini.”

“Ini tulisannya harga segini (sambil menunjuk harga yang tertera di kemasan produk), tapi kok harganya lebih mahal?”

Ketahuilah bahwa pedagang juga manusia.

Mereka juga bisa jengkel.

Dan biasanya para pedagang yang bertemu dengan pembeli semacam itu, begitu pembelinya pulang baru bisa menjawab, “Kalo di Jrengjreng Mart lebih murah, beli disana saja.”

“Ya itu kan ditivi, beli saja sama tivi.”

Untuk yang terakhir, para pedagang itu paling hanya bisa diam. Mau bagaimana lagi? Protes sama pabriknya? Harga yang tertera di kemasan produk kadang merupakan harga belinya dari toko grosir atau sales.  Dan menaikkan harga 200 perak saja masih diprotes?

Kenapa anda tersenyum?

Sering begitu ya?

Jadi begitulah.  Sejauh yang saya tahu sudah saya beritahukan lagi ke anda.

Sebagai pembeli anda adalah raja, anda berhak berbelanja apa saja dan dimana saja yang anda suka.

Anda berhak cek harga, membandingkan harga barang, mengkoleksi brosur  dan lain sebagainya.

Tapi satu yangharus diingat, pandai-pandailah menjaga hati dan perasaan orang lain.

Terutama pedagang kecil.

Protes masalah harga hanya akan menyakiti hati pedagang.

Kalau memang barang yang dijual terlalu mahal, beli saja di tempat lain.

Pembeli adalah raja.

Itu sangat benar.

Tapi raja yang sering berkata kasar tentu tidak disukai rakyatnya.


Selamat berbelanja! ^^

*Tulisan ini sudah pernah saya posting di Facebook tanggal 04 Agustus 2013*

Tuesday, August 13, 2013

Negara Instan

Di suatu tempat pada suatu waktu tersebutlah sebuah negara yang suka sekali dengan hal-hal yang instan.

Pendidikan instan, lulusan instan, sarjana instan, pejabat instan, pengusaha instan, selebritis instan, aparat instan, koruptor instan, politisi instan, pakar instan, proyek instan, tender instan, kebijakan instan, kartu kredit instan, pinjaman instan, hukum instan, berita instan, gosip instan, dan instan-instan lainnya.  Sebagian besar masyarakatnya juga gemar makan mie instan, meskipun kalo ini sih selain hobi juga karena keadaan hehehe...

Instan. Instan itu cepat. Asal punya uang. Siap saji.
Masak 3 menit. Hidangkan. Habis deh.

Karena ploduk-ploduk instan itulah makanya negara yang seharusnya kaya raya jadi tidak bisa berkembang. Alam rayanya dikeruk, diperas sampai tak bersisa. 

Mereka yang punya akses mendadak kaya, tapi hanya saat itu saja.  Mereka tidak sadar kalau mereka meninggalkan “hutang” kepada anak cucunya.  Tapi mereka tidak pernah sadar, jadi ya biarkan saja.

Jalanan yang baru diaspal paling kemulusannya hanya bisa dinikmati satu minggu saja.  Biarkan saja.

Easy come easy go.
Cepat datang cepat hilang.
Instan.

Di negara instan itu, rakyat yang mencintai dan mengabdi setulus hati tidak mendapat tempat. 
Negara itu ramah kepada merekayang memiliki koneksi dan uang untuk mendukung ke-instan-an itu tadi.

Rakyatnya? Sudah paham betul dengan para instan-ners itu.  Rakyat hanya bisa melihat, menerawang, dan sesekali berpikir “kapan mereka bisa seperti kita...”

Rakyatnya berjuang setengah mati demi menyambung hidup, bayar sekolah, bayar listrik, dan bayar pajak, yang hasilnya tidak kembali kepada rakyat tapi dinikmati oleh instaners.

Tapi tak apa, biarkan saja.
Terjajah seperti zaman dahulu kala.

Rakyat yang terbiasa tertindas biasa berpikir sederhana.  Mereka sudah bersyukur bisa bertahan hidup.  Soal instaners tak pernah dipikirkan.  Toh mereka juga hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri.

Geli melihat talkshow berisi provokator yang bisanya menghujat tapi tak pernah berbuat.
Muak melihat pemerintah yang katanya berkuasa tapi seperti tanpa daya.

Teruskan saja berkoar! Teruskan saja! Toh takkan mengubah apa-apa.

Jadi...
Ya gitu deh.
Malam ini menunya mie instan lagi.
Selera nusantara ada di setiap bungkusnya.
Tinggal pilh.
Kalau gas di rumah habis, tinggal dimasak pakai rice cooker, sambil harap-harap cemas semoga tidak mati lampu. 

Praktis.

Perut hangat, lumayan kenyang, mulai ngantuk...

Hoahm...

Berdoa dulu sebelum tidur...
Sambil berharap semoga negara Instanesia kembali gemah ripah loh jinawi toto tentrem kartoraharjo bagi rakyat kecilnya...
Amin...

Zzzzzzzz.......



*Catatan ini pernah saya upload di Facebook tanggal 17 Januari 2011*